Interaksi budaya dalam peradaban manusia telah menciptakan suatu instrumen yang sangat berperan penting, baik sebagai sarana komunikasi, transaksi, maupun pengakuan status sosial seseorang,yaitu uang. Sejak kehadirannya dalam peradaban manusia, uang telah berperan besar dalam mengubah perilaku budaya manusia,bahkan memberikan kontribusi terhadap runtuhnya sistem feodal dan hierarki aristokrasi seperti yang tumbuh di zaman Yunani dan Romawi.
Realitanya,
uang yang semula dimaksudkan berfungsi sebagai alat tukar dan standar satuan
nilai ternyata mempunyai dampak terhadap fokus budaya manusia
ketika uang diaplikasikan sebagai properti
yang menentukan martabat seseorang di tengah masyarakat.Dalam sejarahnya,
peranan dan fungsi uang telah berkembang secara pesat, tanpa mengenal
batas,ras, bangsa dan negara sehingga uang telah ikut memberikan andil yang
penting dalam proses perkembangan peradaban manusia secara global. Mungkin
disebabkan oleh hal tersebut, Aphra Behn, seorang dramawan abad ketujuh belas
menulis dalam bukunya The
Rover (1677) “Uang
berbicara dalam bahasa
yang dimengerti semua bangsa” (halaman
xxxi).
Uang telah
dikenal sejak ratusan tahun yang lalu, seperti halnya ketika penduduk asli
Bandiagara di pedalaman benua Afrika mempertukarkan hasil pertaniannya,dari
sebakul tomat dengan sejumlah kebutuhan harian, susu, gandum dan sejenisnya.
Transaksi yang awalnya dilakukan secara barter ini, kemudian berkembang dengan
menggunakan alat tukar yang terbuat dari hasil bumi seperti coklat dan
sejenisnya (dikenal sebagai uang komoditi). Lambat laun instrumen alat tukar
itu berubah menjadi terbuat dari benda keras, seperti batu dan logam. Dari
penemuan ini dapat dipahami bahwa pengakuan manusia terhadap uang merupakan
suatu proses budaya yang berakulturasi secara tunggal, yakni terciptanya proses
peniruan dari satu suku bangsa ke suku bangsa lain tanpa klaim hak cipta karena
disadari bersama bahwa dengan media uang tercipta interaksi ekonomi antar
bangsa dengan “bahasa” yang mudah distandarisasi.
Berfungsinya
komoditi sebagai alat tukar, merupakan awal dikenalnya uang dalam peradaban
umat manusia. Alat bayar komoditi ini dapat berfungsi ganda, seperti ketika
coklat yang difungsikan sebagai alat tukar bernilai tinggi, maka sirkulasi
komoditas ini intensitasnya meningkat. Namun saat komoditas tersebut menurun
perannya, maka pemegangnya lebih memanfaatkan buah coklat sebagai bahan konsumsi.
Penggunaan emas dan perak sebagai bahan uang dalam bentuk koin diciptakan oleh
Croesus di Yunani sekitar 560-546 sebelum masehi. Bersamaan dengan itu, medium
uang yang berfungsi sebagai intrumen alat bayar, mulai dikembangkan, dibuat
dari berbagai benda padat lainnya seperti tembikar, keramik atau perunggu.
Desa Jachymod
di Ceko, Eropa Timur, dianggap sebagai wilayah pertama menggunakan mata uang
yang diberi nama dollar, yang merupakan mata uang yang paling populer di abad
modern, muncul diakhir abad 19. Mulanya disebut Taler,
kemudian orang Italia mengejanya Tallero,
lidah Belanda menuturkan daler,
Hawai dala,
dalam dialek Inggris diungkapkan sebagai dollar. Embrio dollar dibuat dari
bahan baku perak dan emas dalam bentuk koin, yang penggunaannya berkembang di
banyak negeri atau negara. Sejatinya Taler sendiri
adalah sebutan mata uang yang berkembang di daratan benua Eropa sejak abad 16,
yang jenisnya lebih dari 1500, namun dalam peradaban modern, masing-masing
bangsa atau negara menciptakan sebutan tersendiri bagimata uangnya untuk
menunjukkanstatusnya yang independen.
Dalam sejarah
pemakaian kertas sebagai bahan uang, Cina dianggap sebagai bangsa yang pertama
menemukannya, yaitu sekitar abad pertama Masehi, pada masa Dinasti T’ang. Di
abad modern, Benjamin Franklin (Amerika) ditetapkan sebagai Bapak Uang Kertas
karena ia yang pertama kali mencetak dollar dari bahan kertas, yang semula
digunakan untuk membiayai perang kemerdekaan Amerika Serikat. Sebagai
penghormatan pemerintah terhadap Benjamin Franklin, potretnya diabadikan di
lembaran mata uang dollar pecahan terbesar (USD100). Dalam perjalanannya,
penggunaan uang kertas berkembang sebagai atribut dan simbol sebuah negara.
Namun sebagai garansi dari negara yang bertanggung jawab atas peredarannya, maka
jumlah uang kertas yang diterbitkan selalu dikaitkan dengan jumlah cadangan
emas yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan.
Sekitar tahun
1976,ketergantungan pencetakan uang kertas sudah tidak lagi dihubungkan dengan
cadangan emas, tetapi dibiarkan bergulir dan terjun ke pasar secara bebas
menghadapi hukum penawaran dan permintaan sebagaimana yang tumbuh dalam hukum
ekonomi.
Dengan
demikian, perkembangan uang tidak dapat dilepaskan dari laju budaya dan inovasi
yang tumbuh dari intelektual manusia. Uang kini menjadi fokus kebudayaan dunia
modern, sehingga uang tidak saja didefinisikan sebagai instrumen pembayaran
antara konsumen dan pedagang, buruh dan majikan, tetapi batas-batas
pengertiannya telah memasuki wilayah semua kehidupan manusia, mulai dari rakyat
jelata sampai kepada petinggi pemerintahan dengan masingmasing profesinya.
Dewasa ini
uangtidak lagi diterjemahkan sebagai lembaran-lembaran surat berharga
sebagaimana yang disimpan dalam lemari besi, tetapi uang telah dimanipulasi
dalam bentuk kartuplastik yang dapat mengakumulasi kemampuan seseorang dalam
menunaikan kewajiban pembayaran.Dalam peradaban modern, penemuan uang plastik yang
direpresentasikan dalam bentuk kartu, telah menjadi mode dan trend yang tidak asing
lagi dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya adalah apakah inovasi
penciptaan mata uang akan tetap progresif ke depan. Akankah terjadi pada
waktunya, peran uang akan digantikan oleh sidik jari. Jawabnya adalah inovasi
dan kemajuan intelektual manusia tidak dapat dihambat oleh waktu, karena sumber
ilmu selalu terbuka tanpa pintu.
Buku yang
ditulis oleh Jack Weatherford dan diterjemahkan secara baik oleh Noor Cholis
ini, menjelaskan perkembangan uang melalui tiga fase, yakni, Fase I Tunai Klasik,
Fase II, Uang Kertas dan Fase III Uang Elektronik. Walaupun bukan merupakan
”buku hukum”, namun buku ini tetap menarik bagi peminat Hukum Perbankan
danKebanksentralan, terutama karena bahasannya memberikan wawasan
lain, sebab penuturannya tidak semata-mata
terkonsentrasi pada sisi ekonomi, yang menjadi ”kandang” dikembangkannya fungsi
dan peranan uang, tetapi justru dituangkan secara historikal kultural dengan
memberikan ilustrasi peran uang di tengah masyarakat pedalaman dan masyarakat
modern.
Ditinjau dari
sisi budaya, antara masyarakat pedesaan yang hidup sederhana di pelosok
pedalaman dan masyarakat modern yang bermukim di gedung mewah perkotaan yang
hidup dalam kegiatan ekonomi yang kompleks dan dikelilingi teknologi canggih, peran
dan fungsi uang pada dasarnya tidak berbeda. Diferensiasinya hanya terletak
dari segi kuantitatif ketimbang
kualitatif. Kesimpulan buku ini seperti menitipkan
pesan bahwa uang dalam kehidupan, bergerak seperti makhluk halus yang secara
signifikan paham akan keinginan manusia baik yang datang dari kebutuhan maupun ambisinya,
sehingga uang akan senantiasa berperan sebagai dewa penolong tetapi sekaligus
juga dapat menjadi iblis yang menjerumuskan.
0 comments:
Post a Comment
jangan comment spam
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.